Malasah yang paling banyak mendapat pengingkaran keras dari kaum Musyabbihah [kaum Wahabi di masa sekarang] yang sangat benci terhadap Ilmu Kalam adalah pembahasan nama-nama atau sifat-sifat Allah. Mereka seringkali mengatakan bahwa ungkapan istilah-istilah seperti al-jism (benda/tubuh), al-hadaqah (kelopak mata), al-lisan (lidah), al-huruf (huruf), al-qadam (kaki), al-jauhar (benda), al-‘ardl (sifat benda), al-juz’ (bagian), al-kammiyyah (ukuran) dan lain sebagainya, dalam pembahasan tauhid adalah perkara bid’ah. Mereka mengatakan bahwa dalam mentauhidkan Allah tidak perlu mensucikan Allah dari istilah-istilah tersebut. Menurut mereka pembahasan seperti itu bukan ajaran tauhid yang diajarkan Rasulullah, dan karenanya, -menurut mereka-, hal semacam itu bukan merupakan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Sesungguhnya mereka yang mengingkari istilah-istilah yang biasa dipakai oleh Ahli Kalam Ahlussunnah, tidak lain adalah karena mereka sendiri menyembunyikan akidah tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya) dalam hati mereka. Dan sebenarnya dari semenjak dahulu seperti itulah ungkapan-ungkapan kaum Musyabbihah untuk menyembunyikan keburukan akidah mereka. Karena itu bukan rahasia bahwa kaum Musyabbihah sangat membenci kaum tolog Ahlussunnah, menyesatkan mereka dan bahkan mengkafirkan mereka.
Di antara barisan kaum Musyabbihah sekarang yang sangat apriori terhadap istilah-istilah dalam Ilmu Kalam tersebut adalah kaum Wahhabiyyah. Dalam berbagai masalah akidah, kaum jumud yang sangat keras kepala ini hanya berkiblat kepada Ibn Taimiyyah. Semua akidah Tasybih dan Tajsim yang ada pada Ibn Taimiyyah dengan sangat rapih mereka ikuti setiap jengkalnya, seperti berkeyakinan bahwa Allah bertempat di atas arsy, Allah memiliki bentuk dan ukuran, nereka akan punah, dan lain sebagainya. Anehnya; mereka sangat membenci filsafat, padahal sebenarnya Ibn Taimiyah ini adalah orang yang telah jauh masuk dalam wilayah filsafat yang gelap gulita, sebagaimana diakui oleh muridnya sendiri; adz-Dzahabi dalam risalah Bayan Zagl al-‘Ilm Wa ath-Thalab dan dalam an-Nashihah adz-Dzahabiyyah.
Simak tulisan salah seorang pimpinan mereka yang bernama ‘Abdullah ibn Baz dalam buku yang ia tulis sebagai bantahan terhadap Syekh Muhammad ‘Ali as-Shabuni, berjudul Tanbihat Hammah ‘Ala Ma Katabahu as-Syaikh Muhammad ‘Ali as-Shabuni Fi Shifatillah. Lihat dalam cetakan Jam’iyyah at-Turats al-Islami, Kuwait, h. 22, Ibn Baz menuliskan sebagai berikut:
“Sesungguhnya mensucikan Allah dari dari al-Jism (bentuk/tubuh), as-Shimakh (gendang telinga), al-Lisan (lidah), al-Hanjarah (tenggorokan) bukanlah model pembicaraan orang-orang Ahlussunnah. Akan tetapi hal semacam itu merupakan bahasan-bahasan para Ahli Kalam yang tercela yang mereka buat-buat saja” (lihat Tanbihat Hammah, h. 22).
Tidak hanya Syekh Ali ash-Shabuni saja yang mendapat serangan keras dari orang-orang semacam Ibn Baz atau orang-orang Wahhabi lainnya, bahkan tanpa sungkan sedikitpun mereka telah menyesatkan para ulama sekelas al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Imam al-Hafizh an-Nawawi, al-Imam al-Hafizh al-Baihaqi dan para ulama terkemuka lainnya. Namun yang sangat mengherankan; di saat yang sama mereka juga menggunakan karya-karya para ulama Ahlussunnah tersebut sebagai referensi kajian mereka. Hasbunallah.
Simak tulisan salah seorang pemuka kaum Wahhabiyyah; ‘Abd ar-Rahman ibn Hasan, yang merupakan cucu dari Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, pendiri gerakan Wahhabi. Dalam tulisannya, setelah ia mengungkapkan kesesatan kaum Jahmiyyah sebagai kaum yang menafikan sifat-sifat Allah (Mu’aththilah), ia kemudian mengatakan:
“Kesesatan kaum Jahmiyyah ini kemudian diikuti oleh kaum Mu’tazilah dan kaum Asya’irah dan beberapa kelompok lainnya. Karena itu mereka semua telah dikafirkan oleh banyak kalangan Ahlussunnah” (Lihat buku mereka berjudul Fath al-Majid, cet. Maktabah Darussalam, Riyadl, 1413-1992, h. 353).
Tulisan ‘Abd ar-Rahman ibn Hasan di atas adalah sikap yang sama sekali tidak apresiatif terhadap ulama Ahlussunnah. Ia menutup matanya sendiri untuk mengelabui orang lain; bahwa sesungguhnya kaum Asy’ariyyah tidak lain adalah kaum Ahlussunnah. Tahukah dia atau memang pura-pura tidak tahu bahwa Ibn Hajar seorang Asy’ari??? Adakah orang semacam ‘Abdurrahman ibn Hasan, atau orang-orang Wahhabi lainnya, yang berkeyakinan bahwa Allah bertempat di atas arsy, mansifati-Nya dengan gerak dan diam, atau turun dan naik; pantas di katakan Ahussunnah?! Demi Allah, mereka sedikitpun tidak layak untuk dikatakan Ahlussunnah. Klaim bahwa hanya kelompok mereka saja yang berhaluan Ahlussunnah adalah bohong besar. Adakah mereka tidak melihat [atau karena memang buta mata hatinya] bahwa barisan ulama Ahlussunnah adalah kaum Asy’ariyyah; para pengikut al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari?! Adakah orang semacam Ibn Taimiyah yang berkeyakinan tasybih; mengatakan bahwa Allah memiliki bentuk dan duduk di atas arsy, pantaskah ia untuk dijadikan panutan dalam masalah akidah?!
Simak pula tulisan pemuka Wahhabi lainnya, Shalih ibn Fauzan al-Fauzan, dengan tanpa sungkan ia berkata:
“Kaum al-Asy’ariyyah dan kaum al-Maturidiyyah adalah kaum yang menyalahi para sahabat dan Tabi’in, juga para Imam madzhab yang empat dalam kebanyakan permasalahan akidah dan dasar-dasar agama. Karenanya mereka tidak layak untuk diberi gelar Ahlussunnah Wal Jama’ah” (Lihat dalam karyanya berjudul “Min Masyahir al-Mujaddidin Fi al-Islam; Ibn Taimiyah, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab”. Cet. Dar al-Ifta’, Saudi Arabia, 1408 H, h. 32).
Pemuka wahhabi lainnya bernama Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin, salah seorang pendakwah ajaran Wahhabi terdepan, dalam salah satu bukunya berjudul Liqa’ al-Bab al-Maftuh menusikan sebagai berikut:
“Soal: “Apakah Ibn Hajar al-‘Asqalani dan an-Nawawi dari golongan Ahlussunnah atau bukan?”. Jawab (‘Utsaimin): “Dilihat dari metode keduanya dalam menetapkan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah maka keduanya bukan dari golongan Ahlussunnah”.
Soal: “Apakah kita mengatakan secara mutlak bahwa keduanya bukan dari golongan Ahlussunnah?”. Jawab: “Kita tidak memutlakan” (Lihat buku dengan judul Liqa al-Bab al-Maftuh, cet. Dar al-Wathan, Riyadl, 1414 H, h. 42).
Saya, abou fateh katakan: “Semacam itulah ungkapan-ungkapan yang selalu dibahasakan oleh para pembenci kaum Sunni, dari dahulu hingga sekarang. Dan itulah jalan satu-satunya yang mereka miliki untuk menyembunyikan akidah tasybih yang mereka yakini”.
Berikut ini dari Tulisan al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i al-Asy’ari (w 852 H) dalam karyanya sangat mashur Fath al-Bari dalam menjelaskan kesucian Allah dari tempat dan arah, beliau
menuliskan:
“Bahwa arah atas dan arah bawah adalah sesuatu yang mustahil atas Allah, hal ini bukan berarti harus menafikan salah satu sifat-Nya, yaitu sifat al-‘Uluww. Karena pengertiannya adalah dari segi maknawi bukan dari segi indrawi. (Dengan demikian makna al-‘Uluww adalah Yang maha tinggi derajat dan keagungan-Nya, bukan dalam pengertian berada di arah atas). Karena mustahil pengertian al-‘Uluww ini secara indrawi. Inilah pengertian dari beberapa sifat-Nya; al-‘Aali, al-‘Alyy dan al-Muta’li. Ini semua bukan dalam pengertian arah dan tempat, namun demikian Dia mengetahui segala sesuatu” (Fath al-Bari, j. 6, h. 136).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang pembahasan hadits an-Nuzul beliau menuliskan sebagai berikut:
“Hadits ini dijadikan dalil oleh orang yang menetapkan adanya arah bagi Allah, yaitu arah atas. Namun demikian kayakinan mayoritas mengingkari hal itu. Karena menetapkan arah bagi-Nya sama saja dengan menetapkan tempat bagi-Nya. Dan Allah maha suci dari pada itu” (fath al-Bari, j. 3, h. 30).
Pada bagian lain beliau menuliskan:
“Keyakinan para Imam salaf dan ulama Ahlussunnah dari Khalaf adalah bahwa Allah maha suci dari gerak, berpindah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, menyatu dengan sesuatu. Dia tidak menyerupai segala apapun” (Fath al-Bari, j. 7, h. 124).
Wa shallallahu Ala Sayyidina Muhammad Wa Sallam
Wa al-Hamdu Lillahi Rabbil Alamin.
No comments:
Post a Comment