Tuesday, September 21, 2010

Ibn Hajar al-Asqalani Dituduh Sesat Oleh Kaum Wahabi

Malasah yang paling banyak mendapat pengingkaran keras dari kaum Musyabbihah [kaum Wahabi di masa sekarang] yang sangat benci terhadap Ilmu Kalam adalah pembahasan nama-nama atau sifat-sifat Allah. Mereka seringkali mengatakan bahwa ungkapan istilah-istilah seperti al-jism (benda/tubuh), al-hadaqah (kelopak mata), al-lisan (lidah), al-huruf (huruf), al-qadam (kaki), al-jauhar (benda), al-‘ardl (sifat benda), al-juz’ (bagian), al-kammiyyah (ukuran) dan lain sebagainya, dalam pembahasan tauhid adalah perkara bid’ah. Mereka mengatakan bahwa dalam mentauhidkan Allah tidak perlu mensucikan Allah dari istilah-istilah tersebut. Menurut mereka pembahasan seperti itu bukan ajaran tauhid yang diajarkan Rasulullah, dan karenanya, -menurut mereka-, hal semacam itu bukan merupakan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah.


Sesungguhnya mereka yang mengingkari istilah-istilah yang biasa dipakai oleh Ahli Kalam Ahlussunnah, tidak lain adalah karena mereka sendiri menyembunyikan akidah tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya) dalam hati mereka. Dan sebenarnya dari semenjak dahulu seperti itulah ungkapan-ungkapan kaum Musyabbihah untuk menyembunyikan keburukan akidah mereka. Karena itu bukan rahasia bahwa kaum Musyabbihah sangat membenci kaum tolog Ahlussunnah, menyesatkan mereka dan bahkan mengkafirkan mereka.

Di antara barisan kaum Musyabbihah sekarang yang sangat apriori terhadap istilah-istilah dalam Ilmu Kalam tersebut adalah kaum Wahhabiyyah. Dalam berbagai masalah akidah, kaum jumud yang sangat keras kepala ini hanya berkiblat kepada Ibn Taimiyyah. Semua akidah Tasybih dan Tajsim yang ada pada Ibn Taimiyyah dengan sangat rapih mereka ikuti setiap jengkalnya, seperti berkeyakinan bahwa Allah bertempat di atas arsy, Allah memiliki bentuk dan ukuran, nereka akan punah, dan lain sebagainya. Anehnya; mereka sangat membenci filsafat, padahal sebenarnya Ibn Taimiyah ini adalah orang yang telah jauh masuk dalam wilayah filsafat yang gelap gulita, sebagaimana diakui oleh muridnya sendiri; adz-Dzahabi dalam risalah Bayan Zagl al-‘Ilm Wa ath-Thalab dan dalam an-Nashihah adz-Dzahabiyyah.

Simak tulisan salah seorang pimpinan mereka yang bernama ‘Abdullah ibn Baz dalam buku yang ia tulis sebagai bantahan terhadap Syekh Muhammad ‘Ali as-Shabuni, berjudul Tanbihat Hammah ‘Ala Ma Katabahu as-Syaikh Muhammad ‘Ali as-Shabuni Fi Shifatillah. Lihat dalam cetakan Jam’iyyah at-Turats al-Islami, Kuwait, h. 22, Ibn Baz menuliskan sebagai berikut:

“Sesungguhnya mensucikan Allah dari dari al-Jism (bentuk/tubuh), as-Shimakh (gendang telinga), al-Lisan (lidah), al-Hanjarah (tenggorokan) bukanlah model pembicaraan orang-orang Ahlussunnah. Akan tetapi hal semacam itu merupakan bahasan-bahasan para Ahli Kalam yang tercela yang mereka buat-buat saja” (lihat Tanbihat Hammah, h. 22).

Tidak hanya Syekh Ali ash-Shabuni saja yang mendapat serangan keras dari orang-orang semacam Ibn Baz atau orang-orang Wahhabi lainnya, bahkan tanpa sungkan sedikitpun mereka telah menyesatkan para ulama sekelas al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Imam al-Hafizh an-Nawawi, al-Imam al-Hafizh al-Baihaqi dan para ulama terkemuka lainnya. Namun yang sangat mengherankan; di saat yang sama mereka juga menggunakan karya-karya para ulama Ahlussunnah tersebut sebagai referensi kajian mereka. Hasbunallah.

Simak tulisan salah seorang pemuka kaum Wahhabiyyah; ‘Abd ar-Rahman ibn Hasan, yang merupakan cucu dari Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, pendiri gerakan Wahhabi. Dalam tulisannya, setelah ia mengungkapkan kesesatan kaum Jahmiyyah sebagai kaum yang menafikan sifat-sifat Allah (Mu’aththilah), ia kemudian mengatakan:

“Kesesatan kaum Jahmiyyah ini kemudian diikuti oleh kaum Mu’tazilah dan kaum Asya’irah dan beberapa kelompok lainnya. Karena itu mereka semua telah dikafirkan oleh banyak kalangan Ahlussunnah” (Lihat buku mereka berjudul Fath al-Majid, cet. Maktabah Darussalam, Riyadl, 1413-1992, h. 353).

Tulisan ‘Abd ar-Rahman ibn Hasan di atas adalah sikap yang sama sekali tidak apresiatif terhadap ulama Ahlussunnah. Ia menutup matanya sendiri untuk mengelabui orang lain; bahwa sesungguhnya kaum Asy’ariyyah tidak lain adalah kaum Ahlussunnah. Tahukah dia atau memang pura-pura tidak tahu bahwa Ibn Hajar seorang Asy’ari??? Adakah orang semacam ‘Abdurrahman ibn Hasan, atau orang-orang Wahhabi lainnya, yang berkeyakinan bahwa Allah bertempat di atas arsy, mansifati-Nya dengan gerak dan diam, atau turun dan naik; pantas di katakan Ahussunnah?! Demi Allah, mereka sedikitpun tidak layak untuk dikatakan Ahlussunnah. Klaim bahwa hanya kelompok mereka saja yang berhaluan Ahlussunnah adalah bohong besar. Adakah mereka tidak melihat [atau karena memang buta mata hatinya] bahwa barisan ulama Ahlussunnah adalah kaum Asy’ariyyah; para pengikut al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari?! Adakah orang semacam Ibn Taimiyah yang berkeyakinan tasybih; mengatakan bahwa Allah memiliki bentuk dan duduk di atas arsy, pantaskah ia untuk dijadikan panutan dalam masalah akidah?!

Simak pula tulisan pemuka Wahhabi lainnya, Shalih ibn Fauzan al-Fauzan, dengan tanpa sungkan ia berkata:

“Kaum al-Asy’ariyyah dan kaum al-Maturidiyyah adalah kaum yang menyalahi para sahabat dan Tabi’in, juga para Imam madzhab yang empat dalam kebanyakan permasalahan akidah dan dasar-dasar agama. Karenanya mereka tidak layak untuk diberi gelar Ahlussunnah Wal Jama’ah” (Lihat dalam karyanya berjudul “Min Masyahir al-Mujaddidin Fi al-Islam; Ibn Taimiyah, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab”. Cet. Dar al-Ifta’, Saudi Arabia, 1408 H, h. 32).

Pemuka wahhabi lainnya bernama Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin, salah seorang pendakwah ajaran Wahhabi terdepan, dalam salah satu bukunya berjudul Liqa’ al-Bab al-Maftuh menusikan sebagai berikut:

“Soal: “Apakah Ibn Hajar al-‘Asqalani dan an-Nawawi dari golongan Ahlussunnah atau bukan?”. Jawab (‘Utsaimin): “Dilihat dari metode keduanya dalam menetapkan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah maka keduanya bukan dari golongan Ahlussunnah”.

Soal: “Apakah kita mengatakan secara mutlak bahwa keduanya bukan dari golongan Ahlussunnah?”. Jawab: “Kita tidak memutlakan” (Lihat buku dengan judul Liqa al-Bab al-Maftuh, cet. Dar al-Wathan, Riyadl, 1414 H, h. 42).

Saya, abou fateh katakan: “Semacam itulah ungkapan-ungkapan yang selalu dibahasakan oleh para pembenci kaum Sunni, dari dahulu hingga sekarang. Dan itulah jalan satu-satunya yang mereka miliki untuk menyembunyikan akidah tasybih yang mereka yakini”.

Berikut ini dari Tulisan al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i al-Asy’ari (w 852 H) dalam karyanya sangat mashur Fath al-Bari dalam menjelaskan kesucian Allah dari tempat dan arah, beliau

menuliskan:

“Bahwa arah atas dan arah bawah adalah sesuatu yang mustahil atas Allah, hal ini bukan berarti harus menafikan salah satu sifat-Nya, yaitu sifat al-‘Uluww. Karena pengertiannya adalah dari segi maknawi bukan dari segi indrawi. (Dengan demikian makna al-‘Uluww adalah Yang maha tinggi derajat dan keagungan-Nya, bukan dalam pengertian berada di arah atas). Karena mustahil pengertian al-‘Uluww ini secara indrawi. Inilah pengertian dari beberapa sifat-Nya; al-‘Aali, al-‘Alyy dan al-Muta’li. Ini semua bukan dalam pengertian arah dan tempat, namun demikian Dia mengetahui segala sesuatu” (Fath al-Bari, j. 6, h. 136).

Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang pembahasan hadits an-Nuzul beliau menuliskan sebagai berikut:

“Hadits ini dijadikan dalil oleh orang yang menetapkan adanya arah bagi Allah, yaitu arah atas. Namun demikian kayakinan mayoritas mengingkari hal itu. Karena menetapkan arah bagi-Nya sama saja dengan menetapkan tempat bagi-Nya. Dan Allah maha suci dari pada itu” (fath al-Bari, j. 3, h. 30).

Pada bagian lain beliau menuliskan:

“Keyakinan para Imam salaf dan ulama Ahlussunnah dari Khalaf adalah bahwa Allah maha suci dari gerak, berpindah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, menyatu dengan sesuatu. Dia tidak menyerupai segala apapun” (Fath al-Bari, j. 7, h. 124).

Wa shallallahu Ala Sayyidina Muhammad Wa Sallam

Wa al-Hamdu Lillahi Rabbil Alamin.

Akidah Hulûl dan Wahdah al-Wujûd

Dalam tinjauan al-Hafiszh as-Suyuthi, keyakinan hulûl, ittihâd atau wahdah al-wujûd secara hitoris awal mulanya berasal dari kaum Nasrani. Mereka meyakini bahwa Tuhan menyatu dengan nabi Isa, dalam pendapat mereka yang lain menyatu dengan nabi Isa dan ibunya; Maryam sekaligus. Hulûl dan wahdah al-wujûd ini sama sekali bukan berasal dari ajaran Islam. Bila kemudian ada beberapa orang yang mengaku sufi meyakini dua akidah tersebut atau salah satunya, jelas ia seorang sufi gadungan. Para ulama, baik ulama Salaf maupun Khalaf dan kaum sufi sejati dan hingga sekarang telah sepakat dan terus memerangi dua akidah tersebut. (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130, Pembahasan lebih luas tentang keyakinan kaum Nasrani dalam teori hulûl dan Ittihâd lihat as-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, h. 178-183).


Al-Imâm al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi menilai bahwa seorang yang berkeyakinan hulûl atau wahdah al-wujûd jauh lebih buruk dari pada keyakinan kaum Nasrani. Karena bila dalam keyakinan Nasrani Tuhan meyatu dengan nabi Isa atau dengan Maryam sekaligus (yang mereka sebut dengan doktrin trinitas), maka dalam keyakinan hulûl dan wahdah al-wujûd Tuhan menyatu dengan manusia-manusia tertentu, atau menyatu dengan setiap komponen dari alam ini.

Demikian pula dalam penilaian Imam al-Ghazali, jauh sebelum as-Suyuthi, beliau sudah membahas secara gamblang kesesasatan dua akidah ini. Dalam pandangan beliau, teori yang diyakini kaum Nasrani bahwa al-lâhût (Tuhan) menyatu dengan al-nâsût (makhluk), yang kemudian diadopsi oleh faham hulûl dan ittihâd adalah kesesatan dan kekufuran (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130). Di antara karya al-Ghazali yang cukup komprehensif dalam penjelasan kesesatan faham hulûl dan ittihâd adalah al-Munqidz Min adl-Dlalâl dan al-Maqshad al-Asnâ Fî Syarh Asmâ’ Allah al-Husnâ. Dalam dua buku ini beliau telah menyerang habis faham-faham kaum sufi gadungan. Termasuk juga dalam karya fenomenalnya, Ihyâ ‘Ulumiddîn.

Imam al-Haramain dalam kitab al-Irsyâd juga menjelaskan bahwa keyakinan ittihâd berasal dari kaum Nasrani. Kaum Nasrani berpendapat bahwa ittihâd hanya terjadi hanya pada nabi Isa, tidak pada nabi-nabi yang lain. Kemudian tentang teori hulûl dan ittihâd ini kaum Nasrani sendiri berbeda pendapat, sebagain dari mereka menyatakan bahwa yang menyatu dengan tubuh nabi Isa adalah sifat-sifat ketuhanan. Pendapat lainnya mengatakan bahwa dzat tuhan menyatu yaitu dengan melebur pada tubuh nabi Isa laksana air yang bercampur dengan susu. Selain ini ada pendapat-pendapat mereka lainnya. Semua pendapat mereka tersebut secara garis besar memiliki pemahaman yang sama, yaitu pengertian kesatuan (hulûl dan ittihâd). Dan semua faham-faham tersebut diyakini secara pasti oleh para ulama Islam sebagai kesesatan. (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130, mengutip dari Imam al-Haramain dalam al-Irsyâd).

Imam al-Fakh ar-Razi dalam kitab al-Mahshal Fî Ushûliddîn, menuliskan sebagai berikut:

“Sang Pencipta (Allah) tidak menyatu dengan lain-Nya. Karena bila ada sesuatu bersatu dengan sesuatu yang lain maka berarti sesuatu tersebut menjadi dua, bukan lagi satu. Lalu jika keduanya tidak ada atau menjadi hilang (ma’dûm) maka keduanya berarti tidak bersatu. Demikian pula bila salah satunya tidak ada (ma’dûm) dan satu lainnya ada (maujûd) maka berarti keduanya tidak bersatu, karena yang ma’dûm tidak mungkin bersatu dengan yang maujûd” (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 130, mengutip dari al-Fakh ar-Razi dalam al-Mahshal Fi Ushul al-Dîn).

Al-Qâdlî ‘Iyadl dalam kitab al-Syifâ menyatakan bahwa seluruh orang Islam telah sepakat dalam meyakini kesesatan akidah hulûl dan kekufuran orang yang meyakini bahwa Allah menyatu dengan tubuh manusia. Keyakinan-keyakinan semacam ini, dalam tinjauan al-Qâdlî ‘Iyadl tidak lain hanya datang dari orang-orang sufi gadungan, kaum Bathiniyyah, Qaramithah, dan kaum Nasrani (Al-Qâdli ‘Iyadl, al-Syifâ…, j. 2, h. 236). Dalam kitab tersebut al-Qâdlî ‘Iyadl menuliskan:

“Seorang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, atau berkeyakinan bahwa Allah adalah benda, maka dia tidak mengenal Allah (kafir) seperti orang-orang Yahudi. Demikian pula telah menjadi kafir orang yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya (hulûl), atau bahwa Allah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain seperti keyakinan kaum Nasrani” (Al-Qâdli ‘Iyadl, al-Syifâ…, j. 2, h. 236).

Imam Taqiyyuddin Abu Bakr al-Hishni dalam Kifâyah al-Akhyâr mengatakan bahwa kekufuran seorang yang berkeyakinan hulûl dan wahdah al-wujûd lebih buruk dari pada kekufuran orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Kaum Yahudi menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa ‘Uzair sebagai anak-Nya. Kaum Nasrani menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa Isa dan Maryam sebagai tuhan anak dan tuhan Ibu; yang oleh mereka disebut dengan doktrin trinitas. Sementara pengikut akidah hulûl dan wahdah al-wujûd meyakini bahwa Allah menyatu dengan dzat-dzat makhluk-Nya. Artinya dibanding Yahudi dan Nasrani, pemeluk akidah hulûl dan wahdah al-wujûd memiliki lebih banyak tuhan; tidak hanya satu atau dua saja, karena mereka menganggap bahwa setiap komponen dari alam ini merupakan bagian dari Dzat Allah, Na’udzu Billâh. Imam al-Hishni menyatakan bahwa siapapun yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk memerangi akidah hulûl dan akidah wahdah al-wujûd maka ia memiliki kewajiban untuk mengingkarinya dan menjauhkan orang-orang Islam dari kesesatan-kesesatan dua akidah tersebut (Lihat al-Hushni, Kifâyah al-Akhyar…, j. 1, h. 198).

Imam Ahmad ar-Rifa’i, perintis tarekat ar-Rifa’iyyah, di antara wasiat yang disampaikan kepada para muridnya berkata:

“Majelis kita ini suatu saat akan berakhir, maka yang hadir di sini hendaklah menyampaikan kepada yang tidak hadir bahwa barang siapa yang membuat bid’ah di jalan ini, merintis sesuatu yang baru yang menyalahi ajaran agama, berkata-kata dengan wahdah al-wujûd, berdusta dengan keangkuhannya kepada para makhluk Allah, sengaja berkata-kata syathahât, melucu dengan kalimat-kalimat tidak dipahaminya yang dikutip dari kaum sufi, merasa senang dengan kedustaannya, berkhalwat dengan perempuan asing tanpa hajat yang dibenarkan syari’at, tertuju pandangannya kepada kehormatan kaum muslimin dan harta-harta mereka, membuat permusuhan antara para wali Allah, membenci orang muslim tanpa alasan yang dibenarkan syari’at, menolong orang yang zhalim, menghinakan orang yang dizhalimi, mendustakan orang yang jujur, membenarkan orang yang dusta, berprilaku dan berkata-kata seperti orang-orang yang bodoh, maka saya terbebas dari orang semacam ini di dunia dan di akhirat (lihat Sawâd al-‘Ainain Fî Manâqib Abî al-‘Alamain karya al-Imam as-Suyuthi).

Al-Qâdlî Abu al-Hasan al-Mawardi mengatakan bahwa seorang yang berpendapat hulûl dan ittihâd bukan seorang muslim yang beriman dengan syari’at Allah. Seorang yang berkeyakinan hulûl ini tidak akan memberikan manfa’at pada dirinya sekalipun ia berkoar membicakaran akidah tanzih. Karena seorang yang mengaku Ahl at-Tanzîh namun ia meyakini akidah hulûl atau ittihâd adalah seorang mulhid (kafir). Dalam tinjauan al-Mâwardi, bukan suatu yang logis bila seseorang mengaku ahli tauhid sementara itu ia berkeyakinan bahwa Allah menyatu pada raga manusia. Sama halnya pengertian bersatu di sini antara sifat-sifat tuhan dengan sifat-sifat manusia, atau dalam pengartian melebur antara dua dzat; Dzat Allah dengan dzat makhluk-Nya. Karena bila demikian maka berarti tuhan memiliki bagian-bagian, permulaan dan penghabisan, serta memiliki sifat-sifat makhluk lainnya (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 132).

Al-Hâfizh as-Suyuthi dalam kutipannya dari kitab Mi’yâr al-Murîdîn, berkata:

“Ketahuilah bahwa asal kemunculan kelompok sesat dari orang-orang yang berkeyakinan ittihâd dan hulûl adalah akibat dari kedangkalan pemahaman mereka terhadap pokok-pokok keyakinan (al-Ushûl) dan cabang-cabangnya (al-furû’). Dalam pada ini telah banyak atsar yang membicarakan untuk menghindari seorang ahli ibadah (‘Âbid) yang bodoh. Seorang yang tidak berilmu tidak akan mendapatkan apapun dari apa yang ia perbuatnya, dan orang semacam ini tidak akan berguna untuk melakukan sulûk” (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 133).

Seorang sufi kenamaan, Imam Sahl ibn ‘Abdullah at-Tustari, berkata:

“Dalil atas kesesatan faham kasatuan (ittihâd) antara manusia dengan Tuhan adalah karena bersatunya dua dzat itu sesuatu yang mustahil. Dua dzat manusia saja, misalkan, tidak mungkin dapat disatukan karena adanya perbedaan-perbedaan di antara keduanya. Terlebih lagi antara manusia dengan Tuhan, sangat mustahil. Karena itu keyakinan ittihâd adalah sesuatu yang batil dan mustahil, ia tertolak secara syara’ juga secara logika. Oleh karenanya kesesatan akidah ini telah disepakati oleh para nabi, para wali, kaum sufi, para ulama dan seluruh orang Islam. Keyakinan ittihâd ini sama sekali bukan keyakinan kaum sufi. Keyakinan ia datang dari mereka yang tidak memahami urusan agama dengan benar, yaitu mereka yang menyerupakan dirinya dengan kaum Nasrani yang meyakini bahwa al-nasut (nabi Isa) menyatu dengan al-lahut (Tuhan)” (as-Suyuthi, al-Hâwî…, j. 2, h. 134).

Dalam tinjauan Imam al-Ghazali, dasar keyakinan hulûl dan ittihâd adalah sesuatu yang tidak logis. Kesatuan antara Tuhan dengan hamba-Nya, dengan cara apapun adalah sesuatu yang mustahil, baik kesatuan antara dzat dengan dzat, maupun kesatuan antara dzat dengan sifat. Dalam pembahasan tentang sifat-sifat Allah, al-Ghazali menyatakan memang ada beberapa nama pada hak Allah yang secara lafazh juga dipergunakan pada makhluk. Namun hal ini hanya keserupaan dalam lafazhnya saja, adapun secara makna jelas berbeda. Sifat al-Hayât (hidup), misalkan, walaupun dinisbatkan kepada Allah dan juga kepada manusia, namun makna masing-masing sifat tersebut berbeda. Sifat hayat pada hak Allah bukan dengan ruh, tubuh, darah, daging, makanan, minuman dan lainnya. Sifat hayat Allah tidak seperti sifat hayat pada manusia.

Imam al-Ghazali menuliskan bahwa manusia diperintah untuk berusaha meningkatkan sifat-sifat yang ada pada dirinya supaya mencapai kesempurnaan. Namun demikian bukan berarti bila ia telah sempurna maka akan memiliki sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah. Hal ini sangat mustahil dengan melihat kepada beberapa alasan berikut;

Pertama; Mustahil sifat-sifat Allah yang Qadîm (tidak bermula) berpindah kepada dzat manusia yang hâdits (Baru), sebagaimana halnya mustahil seorang hamba menjadi Tuhan karena perbedaan sifat-sifat dia dengan Tuhan-nya.

Kedua; Sebagaimana halnya bahwa sifat-sifat Allah mustahil berpindah kepada hamba-Nya, demikian pula mustahil dzat Allah menyatu dengan dzat hamba-hamba-Nya. Dengan demikian maka pengertian bahwa seorang manusia telah sampai pada sifat-sifat sempurna adalah dalam pengertian kesempurnaan sifat-sifat manusia itu sendiri. Bukan dalam pengertian bahwa manusia tersebut memiliki sifat-sifat Allah atau bahwa dzat Allah menyatu dengan manusia tersebut (hulûl dan ittihâd) .

l-’Ârif Billâh al-‘Allâmah Abu al-Huda ash-Shayyadi dalam kitab al-Kaukab al-Durri berkata:

“Barang siapa berkata: “Saya adalah Allah”, atau berkata: “Tidak ada yang wujud di alam ini kecuali Allah”, atau berkata: “Tidak ada yang ada kecuali Allah”, atau berkata: “Segala sesuatu ini adalah Allah”, atau semacam ungkapan-ungkapan tersebut, jika orang ini berakal, dan dalam keadaan sadar (shâhî), serta dalam keadaan mukallaf maka ia telah menjadi kafir. Tentang kekufuran orang semacam ini tidak ada perbedaan pendapat di antara orang-orang Islam. Keyakinan tersebut telah jelas-jelas menyalahi al-Qur’an. Karena dengan meyakini bahwa segala sesuatu adalah Allah berarti ia telah menafikan perbedaan antara Pencipta (Khâliq) dan makhluk, menafikan perbedaan antara rasul dan umatnya yang menjadi obyek dakwah, serta menafikan perbedaan surga dan neraka. Keyakinan semacam ini jelas lebih buruk dari mereka yang berkeyakinan hulûl dan ittihâd. Dasar mereka yang berakidah hulûl atau ittihâd meyakini bahwa Allah meyatu dengan nabi Isa. Sementara yang berkeyakinan segala sesuatu adalah Allah, berarti ia menuhankan segala sesuatu dari makhluk Allah ini, termasuk makhluk-makhluk yang najis dan yang menjijikan. Sebagian mereka yang berkeyakinan buruk ini bahkan berkata:

(قيل) وَمَا اْلكَلْبُ وَالْخِنْزِيْرُ إلاّ إلَهُنَا # وَمَا اللهُ إلاّ رَاهِبٌ فِي كَنِيْسَةٍ

“Tidaklah anjing dan babi kecuali sebagai tuhan kita, sementara Allah tidak lain adalah rahib yang ada di gereja”.

Ini jelas merupakan kekufuran yang sangat mengerikan dan membuat merinding tubuh mereka yang takut kepada Allah. Adapun jika seorang yang berkata-kata semacam demikian itu dalam keadaan hilang akal dan hilang perasaannya (jadzab) sehingga ia berada di luar kesadarannya maka ia tidak menjadi kafir. Karena bila demikian maka berarti ia telah keluar dari ikatan taklif, dan dengan begitu ia tidak dikenakan hukuman. Namun demikian orang semacam itu mutlak tidak boleh diikuti. Tidak diragukan bahwa kata-kata semacam di atas menyebabkan murka Allah dan rasul-Nya. Ketahuilah bahwa kaum Yang Haq adalah mereka yang tidak melenceng sedikitpun, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan, dari ketentuan syari’at. Cukuplah bagi seseorang untuk memegang teguh syari’at, dan cukuplah Rasulullah sebagai pembawa syari’at adalah sebaik-baiknya Imam dan teladan yang harus diikuti” (Lihat al-Shayyadi, al-Kaukab al-Durry Fi Syarh Bait al-Quthb al-Kabir, h. 11-12).

Dalam al-Luma’, as-Sarraj membuat satu sub judul dengan nama “Bâb Fî Dzikr Ghalath al-Hululiyyah” (Bab dalam menjelaskan kesesatan kaum Hululiyyah). Beliau menjelaskan bahwa orang-orang yang berakidah hulûl adalah orang yang tidak memahami bahwa sebenarnya sesuatu dapat dikatakan bersatu dengan sesuatu yang lain maka mestilah keduanya sama-sama satu jenis. Padahal Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Nya. Kesesatan kaum hulûl ini sangat jelas, mereka tidak membedakan antara sifat-sifat al-Haq (Allah) dengan sifat al-Khalq (makhluk). Bagaimana mungkin Dzat Allah menyatu dengan hati atau raga manusia?! Yang menyatu dengan hati dan menetap di dalamnya adalah keimanan kepada-Nya, menyakini kebenaran-Nya, mentauhidkan-Nya dan ma’rifah kepada-Nya. Sesungguhnya hati itu adalah makhluk, maka bagaimana mungkin Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya akan bersatu dengan hati manusia yang notabene makhluk-Nya sendiri?! Allah maha Suci dari pada itu semua (as-Sarraj, al-Luma’…, h. 541-542).

Dari pernyataan para ulama sufi di atas tentang akidah hulûl dan wahdah al-wujûd dapat kita tarik kesimpulan bahwa kedua akidah ini sama sekali bukan merupakan dasar akidah kaum sufi.


Penutup:

Sama sesatnya dengan orang-orang berkayakinan hulul atau wahdah al-wujud adalah orang-orang yang berkeyakinan bahwa Allah bertempat di langit atau bertempat di atas arsy, karena bila demikian maka berarti Dia berada pada makhluk-Nya sendiri, Au’dzu Billah.



Hindari dan waspadai keyakinan Wahhabi yang mengatakan Allah bertempat di langit, pada saat yang sama mereka juga mengatakan di arsy, di dua tempat heh!!! Yang mengherankan: Mereka yakin bahwa arsy dan langit makhluk Allah, tapi mereka mengatakan bahwa Allah bertempat pada keduanya, di mana akal mereka!!!!!! Hasbunallah…….



Ingat,

Akidah Rasulullah, salaf saleh, dan mayoritas ummat Islam; kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah: ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.



Wa Shallallahu Ala Sayyidina Muhammad,

Wa al-Hamdu Lillah Rabb al-Alamin…